Kamis, 24 November 2011

Mereka dalam Ceritaku (Saya dan HIV)


Meskipun dunia ini sudah langka dengan orang-orang yang peduli terhadap sesama, bagi segelintir orang masih tetap bertahan memperjuangkan kepedulian mereka untuk orang lain. Berbagai isu kemanusiaan makin marak dengan kemunculan tragedi kemanusiaan yang diberitakan media. Mulai dari kelaparan, kemiskinan, kesehatan, keamanan, pendidikan, sampai kesejahteraan menjadi masalah yang seolah tak berujung. Akses kesehatan misalnya, saat ini menjadi isu terhangat karena banyak masyarakat dunia yang belum mampu memperoleh haknya akan itu.

Kemunculan sebuah penyakit baru 52 tahun silam di Afrika yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya (baru-baru ini terdapat temuan mengenai obat penyakit tersebut), membuat para ahli kesehatan melakukan berbagai riset mengenai penyakit itu. Acquired Immunodeficiency Syndrome, lebih dikenal dengan AIDS merupakan penyakit yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positif T-sel dan macrophages– komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Penyakit ini disebabkan oleh virus bernama Human Immunodeficiency Virus. Sehingga banyak yang menyebutnya sebagai HIV/AIDS. 

Namun menurut Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia menyebutkan bahwa istilah HIV digunakan bagi mereka yang belum mengalami tahap lanjut dan menimbulkan gejala-gejala untuk AIDS. Jadi, bila HIV tidak diobati maka akan menunjukkan tanda-tanda infeksi AIDS. Berdasarkan sejarah, masuknya HIV/AIDS ke Indonesia dimulai pada tahun 1987. Saat itu merupakan kasus pertama HIV di negara tersebut. Sudah hampir 25 tahun masyarakat Indonesia memerangi HIV/AIDS. Berbagai upaya dilakukan dalam rangka mencegah dan menanggulangi serta memberikan edukasi tentang HIV/AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), menjadi pelopor sekaligus lembaga resmi pemerintah Indonesia yang menangani masalah penyakit tersebut.

Entah karena banyak dari masyarakat yang sadar akan pentingnya tindakan kemanusiaan atau hanya ingin mencapai kepentingan tertentu, lembaga-lembaga sosial hasil produk di luar pemerintahan (LSM) semakin menjamur. Namun, tak jarang dari lembaga-lembaga tersebut hanya kedok belaka tanpa semata bertujuan untuk menolong. Fenomena lainnya, banyak juga dari lembaga-lembaga sosial yang memang sudah terdaftar dan memiliki izin beroperasi tetapi dalam kondisi antara hidup dan mati. Suntikan dana yang minim membuat lembaga tersebut kurang mampu mengoptimalkan kinerjanya.   

Padahal dengan adanya lembaga ini mampu menjadi wadah bagi para pekerja sosial yang masih peduli terhadap kemanusiaan, khususnya peduli kepada penderita/Odha HIV/AIDS. Bagi saya sendiri, kerja sosial merupakan hasil akumulasi antara batin, jiwa dan perasaan saya dalam menangkap fenomena sosial. Selanjutnya, otak akan mencerna itu apakah menjadi sesuatu yang perlu disentuh dengan nurani atau sebaliknya. Aksi terakhir dari kinerja otak adalah menerjemahkannya dalam kegiatan yang mampu memperlakukan manusia seperti manusia. “Orang sukses adalah orang yang dapat bermanfaat bagi orang lain”, kalimat itu yang selalu saya pegang dalam menjalani hidup ini. Mengapa?


Manusia, pada dasarnya adalah makhluk sosial. Ia membutuhkan orang lain dalam berbagai aktifitasnya sehari-hari. Adapun di masa-masa tertentu, manusia dapat bekerja sendiri. Namun, saya beranggapan itu pun merupakan dampak tidak langsung dari interaksi antara sesama manusia sebelumnya. Sehingga memang tidak dipungkiri kewajiban untuk menolong sesama. Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasangan, begitu pula manusia dan kehidupannya. Terdapat dua golongan manusia, manusia yang beruntung dan manusia yang belum beruntung. Manusia yang beruntung bisa memiliki kelebihan tertentu, umumnya dapat dilihat secara fisik. Sementara itu, manusia yang belum beruntung lebih terlihat memiliki kekurangan. Di sinilah mereka saling mengisi, antara yang beruntung dan yang belum beruntung. Ibarat kunci dan anak gembok yang saling melengkapi satu sama lain. Saya mencoba untuk memberikan sebagian keberuntungan yang dimiliki kepada orang lain meskipun saya merasa bukan orang yang selalu beruntung. Kehidupan kampus membuat saya menjadi individu yang senang berbagi. Banyak kegiatan kemanusiaan yang diselenggarakan oleh almamater tercinta, Institut Pertanian Bogor (IPB), tempat saya menemukan harta untuk berbagi dengan sesama. 

Cerita kemanusiaan saya berawal dari kunjungan ke Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2008. Hadiah yang mampu mengubah pandangan saya sebagai individu muda yang masih labil. Kala itu, saya memutuskan untuk ikut bersama teman menjadi panitia acara tahunan Seminar Anti Narkoba sebagai tim Dana Usaha. Tugasnya adalah menghimpun dana kegiatan dari berbagai sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Bisa dibilang acara tersebut terselenggara dengan lancar dan sukses sehingga tersedia hadiah bagi panitia yang terlibat. Kami pun diberikan kesempatan untuk berkunjung ke BNN yang lokasinya dekat dengan Kampus IPB Darmaga (Lokasi BNN di Lido, Sukabumi). 

Sesampai di sana rombongan kami langsung dihadapkan dengan para mantan pecandu yang sedang mendapatkan rehabilitasi di BNN. Ada 1 orang mantan pecandu yang terinfeksi HIV dari 4 orang yang dihadirkan. Darinya, kisah pahit terurai. Kisah yang bagi saya sangat disayangkan terjadi pada gadis sebelia dia, AL (20). Di balik penampilan lugunya, ternyata banyak masalah yang menekan jiwanya hingga harus memakai produk haram itu dan akhirnya mengizinkan virus HIV menggerogoti tubuhnya. 

Awalnya saat rombongan kami mengetahui AL menderita HIV, ada perasaan khawatir yang tiba-tiba menyusup dan menjalari tubuh kami. Alih-alih menjauh karena takut tertular, kami semakin larut dalam cerita AL dan berempati akan penyakitnya. Setelah petugas BNN menjelaskan risiko tertular HIV melalui berbagai cara berikut dengan mitos HIV, akhirnya kami paham tidak ada penularan melalui udara dan sentuhan. Rasa canggung yang semula mengendalikan kami (dan AL juga) saat berkomunikasi dengan AL, hilang seketika. 

Badan Narkotika Nasional merupakan pusat rehabilitasi para pecandu narkoba yang rentan terhadap penyakit infeksi sehingga dalam perjalanannya BNN, begitu singkatannya, bekerja sama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam mengatasi masalah HIV/AIDS para mantan pecandu narkoba. Kasus HIV/AIDS sering dikorelasikan dengan narkoba, apalagi bagi mereka yang menggunakan jarum suntuk narkoba. Di Indonesia, kasus HIV/AIDS yang disebabkan karena penggunaan jarum suntik narkoba pada periode 2003-2006 dilaporkan meningkat menjadi 26.26%. 

Mengutip dari data Kementrian Kesehatan, jumlah pengguna obat-obat terlarang di Indonesia terus meningkat terutama di kalangan remaja dan kelompok dewasa muda. Walaupun sebagian besar dari sekitar 1.3 – 2 juta pengguna NAPZA tidak menggunakan heroin atau suntikan, namun sebagian kecil melakukannya. Menurut estimasi Kemenkes pada tahun 2006 terdapat antara 191.000 sampai 248.000 penasun (pengguna napza suntikan) di Indonesia. Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjuk kepada angka 508.000 pada tahun yang sama. Penasun masih terkonsentrasi di daerah perkotaan di Jawa dan kota-kota provinsi di luar Jawa. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena penularan HIV di subpopulasi ini tinggi dan terus meningkat. Masalah menjadi semakin sulit sebelumnya karena ketidakpedulian akan bahaya tertular seperti ditunjukkan hasil survei perilaku tahun 2002 sekitar dua per tiga penasun yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki risiko terinfeksi juga menyatakan bahwa mereka telah menggunakan peralatan secara bersama-sama dalam minggu pada survei yang sama. 

Tak terasa jarum pendek dan panjang di jam tangan saya telah berhimpit menunjukkan jam 12.00 WIB. Tanda berakhirnya diskusi kami dengan para pecandu narkoba. Petugas keamanan BNN menggiring para pecandu tersebut kembali ke dalam ruangan. Kami pun beranjak keluar menuju tempat ibadah yang berada tak jauh dari ruang diskusi. Selama beribadah, tak henti-hentinya bibir ini berucap syukur atas kehidupan indah yang dimiliki. Seraya berujar untuk mengabdikan diri dalam memberikan kebaikan kepada orang-orang yang memerlukan uluran tangan. Sejak saat itu saya berazam akan siap sedia berbagi tanpa mempertimbangkan stigma dan diskriminasi. Saya pun aktif di berbagai kegiatan sosial bersama teman-teman yang memang peduli dan memiliki misi kemanusiaan seperti saya. Mulai dari menjadi mentor relawan bagi anak autis sampai tidak pernah absen mendonorkan darah untuk para pasien yang membutuhkannya. 

Mengapa saya melakukan ini??

Karena saya adalah bagian dari mereka, harapan mereka, dan titipan Tuhan untuk mereka. Inilah saya yang ingin bermanfaat bagi orang lain. Ibarat di mana ada kegiatan sosial di sana lah saya berada. 

Jadi bagi kamu yang memang merasa masih memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan ingin berbagi kepada sesama, ayo mulai dari sekarang! Karena penundaan akan menjadi sesuatu yang sia-sia di kemudian hari. Mulai dari mencari info kegiatan sosial dan perbanyak tanya ke sana ke mari akan mempermudah kamu menyalurkan jiwa sosialmu kepada sesama. So, Let’s we action together!

Domisili: Bogor-Jawa Barat




3 komentar:

  1. Maaf syarat Anda masih kurang untuk ikut lomba GoVlog AIDS. Syarat yang kurang:

    1. Artikel yang dilombakan wajib diposting di Twitter peserta lomba dengan mention @AusAID @VIVAnews dan Hashtag #GoVlog. Selain itu harus dicantumkan link artikel yang dimuat di VIVAnews dengan shortlink.
    Contohnya: http://bit.ly/Hjk8B #GoVlog @AusAID @VIVAnews
    *Hasil postingan Twitter harus capture dan imagenya dimasukkan ke dalam artikel yang dilombakan.

    2. Peserta wajib mencantumkan domisili di dalam blog yang dilombakan.
    *Contohnya: Pontianak - Kalimantan Barat

    Mohon segera dilengkapi.

    Thanks..

    BalasHapus
  2. Kami dari Admin GoVlog, perlu meminta data diri Anda yang mengikuti GoVlog AIDS. Data diri ini kami pergunakan untuk pemberitahuan jika Anda terpilih menjadi 10 besar.

    Nama Lengkap:
    Jenis Kelamin:
    No tlp/HP (yang bisa dihubungi):
    Email:
    Yahoo Messenger:
    Alamat lengkap:
    Pekerjaan:
    Link posting Blog GoVlog AIDS:

    Mohon data diri Anda dikirim ke email tommy.adi@vivanews.com

    Terimakasih

    BalasHapus
  3. Baik di Indonesia atau di luar negeri, rasa peduli kemanusiaan semakin terkikis, namun berbagai lembaga kemanusiaan atau NGO meskipun tumbuh kecil namun bisa menjaga kesadaran dan berperan di garis depan dalam masalah membantu kemanusiaan

    BalasHapus

Tinggalkan komentar ya di sini, terima kasih.