Kamis, 08 September 2011

Jamu Galohgor: Tren Konsumsi Jamu, Sehat dengan Konsumsi yang Tepat


Pengertian Jamu (Definisi dan Perbedaannya dengan Tanaman Obat)
            Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, memiliki lebih kurang 30.000 (Sukandar 2003) - 40.000 (Pratiwi 2005) spesies tumbuhan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air dan kurang lebih 940 (Sukandar 2003) - 3000 (Pratiwi 2005) spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka. Kebiasaan minum jamu bagi masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Madura, bukanlah hal asing. Awalnya jamu hanya dikenal di daerah Wonogiri-Surakarta yang selanjutnya meluas ke daerah-daerah lain. Bahkan tidak hanya di negara berkembang seperti Indonesia, obat herbal juga telah diterima secara luas di negara maju. Menurut WHO (1999) dalam Sukandar (2003), sebanyak 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal.


Definisi obat tradisional menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 adalah bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Sedangkan definisi pengobatan tradisional menurut World Health Organization (WHO) adalah upaya menjaga dan memperbaiki kesehatan dengan cara-cara yang telah ada sebelum munculnya pengobatan modern. Pengobatan tradisional itu sendiri dapat berupa pemijatan, tumbuh-tumbuhan, ramuan berbahan dasar tumbuh-tumbuhan (jamu, ramuan, jampi), kompres dengan bahan dasar tumbuhan atau daun-daunan (galian, pilis) dan parem 6.
Obat tradisional merupakan istilah yang lebih dikenal sebagai jamu di Indonesia. Terbuat dari campuran tumbuh-tumbuhan yang dipercaya memiliki khasiat untuk kesehatan. Racikan jamu tidak hanya merupakan campuran dari tumbuhan-tumbuhan, namun juga dapat berupa atau berasal dari hewan atau unsur mineral lainnya. Menurut Katno dan Pramono (2003), obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Selama ini bahan alami obat tradisional yang berasal dari tumbuhan lebih banyak digunakan dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral. Oleh karena itu, obat tradisional (jamu) lebih identik dengan ramuan yang berasal dari tumbuhan (tanaman obat).


Kepercayaan Masyarakat Mengenai Manfaat dan Khasiat Jamu
            Masyarakat tradisional di negara-negara berkembang sampai saat ini biasanya mengatasi sendiri gejala-gejala sakit yang dideritanya dengan pengobatan tradisional seperti beristirahat, minum jamu, dan pergi ke dukun atau ahli pengobatan tradisional. Khusus dalam penggunaan jamu (herbal drugs) sebagai salah satu pengobatan tradisional, masyarakat Thailand menggunakannya dengan maksud untuk penyembuhan penyakit dan gangguan yang berkaitan dengan perut. Sementara itu, pada masyarakat Indonesia khususnya suku Jawa, jamu digunakan sebagai upaya untuk menjaga kesehatan, mencegah penyakit, maupun pengobatan suatu penyakit yang diderita.
Pengobatan alternatif seperti relaksasi atau pijat semakin populer tidak hanya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga semakin popouler diantara pasien di Amerika. Jenis pengobatan alternatif di Indonesia yang memiliki tingkat kepopuleran paling tinggi adalah pengobatan melalui konsumsi jamu. Hal ini dikarenakan adanya penyakit-penyakit tertentu yang tidak dapat sembuh secara medis, tetapi dengan ramuan tradisional penyekit-penyakit tersebut dapat disembuhkan. Kecenderungan masyarakat memilih ramuan tradisional didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut (Limananti & Triratnawati 2003):
1.      harganya relatif lebih murah dibanding obat-obat modern sehingga terjangkau oleh masyarakat luas.
2.      bahan-bahannya mudah diperoleh di lingkungan sekitar tempat tinggal.
3.      proses pembuatan dan peralatan yang digunakan lebih sederhana.
4.      efek samping negatif lebih kecil karena tidak menggunakan bahan kimia.
Sementara itu, alasan umum orang minum jamu adalah untuk mencegah penyakit, menjaga kesehatan, dan mengobati penyakit. Jamu atau ramuan tradisional dikenal memiliki berbagai kelebihan dari segi kesehatan antara lain untuk mengobati penyakit pada gigi dan mulut, pilek, batuk, masuk angin, kehilangan nafsu makan, demam, masalah-masalah perut, kelelahan, datang bulan, dan sebagainya.
Sistem medis naturalistik yang dikemukakan oleh Foster dan Anderson (1998) dalam Limananti dan Triratnawati (2003), menyebutkan bahwa seseorang dikatakan sehat apabila adanya keseimbangan unsur-unsur tetap dalam tubuh seperti panas dingin, cairan tubuh (humor dan dosha), yin dan yang, yang berada dalam keadaan seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan sosialnya. Kondisi yang tidak seimbang menandakan bahwa seseorang menderita sakit dan penyembuhannya dengan menyeimbangkan unsur-unsur yang dianggap mengalami gangguan keseimbangan. Humor atau cairan dalam tubuh, pada perkembangannya dapat dibedakan dalam empat konsep yaitu: darah (panas dan lembab), flegma atau lendir (dingin dan lembab), empedu hitam juga disebut murung atau melankoli (dingin dan kering), serta empedu kuning atau bertemperamen buruk (panas dan kering). Keempat unsur tersebut terdapat dalam tubuh manusia yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Darah, lendir, empedu hitam, dan empedu kuning jika berada dalam kondisi seimbang maka dikatakan sehat. Sebaliknya pada keadaan tidak seimbang dapat dikatakan sakit.
Jamu dipercaya memiliki kandungan yang dapat menyeimbangkan kembali ketidakseimbangan unsur-unsur dalam tubuh yang dapat berpotensi menimbulkan penyakit. Sehingga dengan mengonsumsi jamu, tubuh memperoleh keseimbangan unsur-unsur yang berdampak pada tercapainya kondisi sehat. Melalui jamu untuk sehat, khususnya di Indonesia memberikan peluang dalam mengembangkan potensi nasional di bidang pengobatan tradisional (fitofarmaka).
Berdasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan manfaat dan efek konsumsi obat tradisional (jamu), menunjukkan bahwa konsumsi jamu dapat mencegah penyakit kanker karena senyawa antioksidan yang terkandung di dalam jamu, khususnya jamu asal tanaman obat (Carlsen et al. 2010). Jamu juga bermanfaat dalam memberikan efek nyaman dan tenang pada seseorang. Hal ini didasarkan pada penelitian Lakhan dan Vieira (2010) yang menunjukkan ekstrak bunga atau kava serta kombinasi L-lisin dan L-arginin dalam tanaman obat mampu memberikan ketenangan pada seseorang yang mempunyai gejala atau gangguan kegelisahan. Selain itu komponen magnesiun dan kombinasi mineral lainnya yang terdapat dalam tanaman obat juga berperan dalam memberikan efek ketenangan .
Apakah Aman Konsumsi Jamu Setiap Hari?
            Meskipun pada uraian di atas jamu sangat bermanfaat dalam pengobatan dan pencegahan terhadap suatu penyakit serta memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat modern (kimia), bukan berarti dalam mengonsumsinya dapat sekehendak saja tanpa aturan minum. Dosis dan aturan minum seharusnya juga diperhatikan dalam mengonsumsi jamu.
Seperti kata pepatah, sesuatu yang berlebihan itu tidak memberikan manfaat yang baik. Begitu juga dalam mengonsumsi jamu hendaknya tidak berlebihan. Analogi yang dapat digunakan dalam hal ini yaitu seperti dalam mengonsumsi sambal. Sambal merupakan salah satu ciri khas masakan Indonesia yang disajikan sebagai pendamping menu lauk atau lalap (sayuran mentah). Terbuat dari campuran cabe merah, cabe rawit (hijau atau merah), tomat, bawang putih, bawang merah, terasi, dan bumbu lainnya. Semua bahan baku sambal tersebut berasal dari alam (tumbuhan) yang diasumsikan aman untuk dikonsumsi (konsep back to natue). Lain halnya jika sambal tersebut berasal dari sambal kemasan yang dalam pembuatannya dicampur dengan bahan kimia. Sambal kemasan dapat dianalogikan seperti obat modern (kimia) yang dapat memberikan efek samping pada kesehatan.
Konsumsi sambal yang dibuat dari bahan baku alami jika berlebihan juga akan memberikan efek yang berarti pada saluran pencernaan, seperti mulut terasa terbakar, perut terasa panas, dan kontraksi otot usus meningkat sehingga merangsang untuk buang air besar lebih sering dalam bentuk cair. Hal serupa juga akan terjadi jika berlebihan dalam mengonsumsi jamu yang berasal dari bahan alami. Oleh karena itu, hendaknya perhatikan dosis aman atau tanyakan kepada ahlinya tentang aturan minum jamu yang tepat. Selain pengobatan yang diperoleh, manfaat lain dari jamu dapat diperoleh secara optimal jika dikonsumsi dengan baik dan benar. Berikut ini hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengonsumsi jamu (Katno & Pramono 2003).
a. Ketepatan Takaran/Dosis
Daun seledri (Apium graviolens) telah diteliti dan terbukti mampu menurunkan tekanan darah, tetapi pada dosis berlebih (overdosis) dapat menurunkan tekanan darah secara drastis. Oleh karena itu dianjurkan agar jangan mengkonsumsi lebih dari 1 gelas perasan seledri untuk sekali minum. Demikian pula mentimun, takaran yang diperbolehkan tidak lebih dari 2 biji besar untuk sekali makan.
Gambir bisa digunakan untuk menghentikan diare, tetapi penggunaan lebih dari 1 ibu jari, bukan sekedar menghentikan diare bahkan akan menimbulkan kesulitan buang air besar selama berhari-hari. Sebaliknya penggunaan minyak jarak (Oleum recini) yang tidak terukur akan menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan. Demikian juga dengan pemakaian keji beling (Strobilantus crispus) yang melebihi 2 gram untuk batu ginjal serbuk (sekali minum) dapat menimbulkan iritasi saluran kemih.
b. Ketepatan Waktu Penggunaan
Jamu cabe puyang mempunyai efek menghambat kontraksi otot pada binatang percobaan. Kesulitan melahirkan pada ibu-ibu yang mengonsumsi cabe puyang mendekati masa persalinan dikarenakan kontraksi otot uterus dihambat terus-menerus sehingga memperkokoh otot tersebut dalam menjaga janin di dalamnya. Sebaliknya jamu kunir asem bersifat abortivum sehingga mungkin dapat menyebabkan keguguran bila dikonsumsi pada awal kehamilan. Sehubungan dengan hal itu, hendaknya bagi wanita hamil konsumsi jamu cabe puyang diawal kehamilan (antara 1-5 bulan) untuk menghindari risiko keguguran dan konsumsi jamu kunir-asem saat menjelang persalinan untuk mempermudah proses persalinan. Kasus lain adalah penggunaan jamu sari rapet terus menerus sejak gadis hingga berumah tangga dapat menyebabkan kesulitan memperoleh keturunan bagi wanita yang kurang subur karena adanya kemungkinan dapat memperkecil peranakan.
c. Ketepatan Cara Penggunaan
Daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui mengandung alkaloid turunan tropan yang bersifat bronkodilator (dapat memperlebar saluran pernafasan) sehingga digunakan untuk pengobatan penderita asma. Penggunaannya dengan cara dikeringkan lalu digulung dan dibuat rokok serta dihisap (seperti merokok). Secara umum penggunaan jamu secara tradisional adalah direbus lalu diminum air seduhannya. Akibat adanya kesalahan informasi yang diperoleh atau kesalahpahaman, maka jika hal itu diperlakukan terhadap daun kecubung, akan terjadi keracunan karena tingginya kadar alkaloid dalam darah. Orang Jawa menyebutnya ‘mendem kecubung’ dengan salah satu tandanya midriasis, yaitu mata membesar.
d. Ketepatan Pemilihan Bahan Secara Benar
Berdasarkan pustaka, tanaman lempuyang ada 3 jenis, yaitu lempuyang emprit (Zingiber amaricans L), lempuyang gajah (Zingiber zerumbert L.), dan lempuyang wangi (Zingiber aromaticum L.). Lempuyang emprit dan lempuyang gajah berwarna kuning berasa pahit dan secara empiris digunakan untuk menambah nafsu makan, sedangkan lempuyang wangi berwarna lebih putih (kuning pucat) rasa tidak pahit dan berbau lebih harum, banyak digunakan sebagai komponen jamu pelangsing. Kenyataannya banyak penjual simplisia yang kurang memperhatikan hal tersebut, sehingga penjual tersebut tidak mengetahui jenis lempuyang dengan jelas. Pemilihan bahan yang salah akibat terbatasnya informasi yang diperoleh tentang jenis dan manfaat tanaman obat sebagai jamu dapat memberikan dampak tidak baik. Akibatnya manfaat yang diharapkan dari tanaman lempuyang sebagai jamu kurang optimal.
Kerancunan serupa juga sering terjadi antara tanaman ngokilo yang dianggap sama dengan keji beling, daun sambung nyawa dengan daun dewa, bahkan akhir-akhir ini terhadap tanaman kunir putih dengan 3 jenis tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria, dan Kaempferia rotunda) seringkali sama-sama disebut sebagai ‘kunir putih’ karena dinyatakan bisa digunakan untuk pengobatan penyakit kanker.

e. Ketepatan Pemilihan Tanaman Obat (TO)/Ramuan Obat Tanaman (OT) untuk Indikasi Tertentu
Terdapat beberapa TO yang memiliki khasiat empiris serupa bahkan dinyatakan sama (efek sinergis). Sebaliknya untuk indikasi tertentu diperlukan beberapa jenis TO yang memiliki efek farmakologis saling mendukung satu sama lain (efek komplementer). Walaupun demikian karena sesuatu hal, pada berbagai kasus ditemui penggunaan TO tunggal untuk tujuan pengobatan tertentu. Misalnya seperti yang terjadi sekitar tahun 1985, terdapat banyak pasien di salah satu rumah sakit di Jawa Tengah yang sebelumnya mengkonsumsi daun keji beling. Pada pemeriksaan laboratorium dalam urinenya ditemukan adanya sel-sel darah merah (dalam jumlah) melebihi normal. Hal ini sangat dimungkinkan karena daun keji beling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada saluran kemih. Akan lebih tepat bagi mereka jika menggunakan daun kumis kucing (Ortosiphon stamineus) yang efek diuretiknya lebih ringan dan dikombinasi dengan daun tempuyung (Sonchus arvensis) yang tidak mempunyai efek diuretik kuat tetapi dapat melarutkan batu ginjal berkalsium.
Penggunaan daun tapak dara (Vinca rosea) untuk mengobati diabetes bukan merupakan pilihan yang tepat, sebab daun tapak dara mengandung alkaloid vinkristin dan vinblastin yang dapat menurunkan jumlah sel darah putih (leukosit). Jika digunakan untuk penderita diabetes yang mempunyai jumlah leukosit normal akan membuat penderita rentan terhadap serangan penyakit karena terjadi penurunan jumlah leukosit yang berguna sebagai pertahanan tubuh.
Jenis Jamu
            Jamu di Indonesia pada umumnya dijajakan dengan cara tradisional, yaitu dengan cara memasukkan ramuan jamu tersebut ke dalam botol-botol yang berbeda, disatukan dalam sebuah bakul, lalu digendong dan dijajakan dari rumah ke rumah atau di tempat tertentu seperti terminal, emperan toko, dan lain-lain. Oleh karena itu, masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan “jamu gendong”. Ciri khas lainnya berupa penampilan penjual jamu yang mengenakan kebaya dan kain selama menjajakan jamu.
            Jamu gendong terdiri dari bermacam-macam ramuan yang memiliki manfaat yang berbeda pula. Beberapa jenis jamu gendong, yaitu beras kencur, cabe lempuyang, kunyit asam, temulawak, dan lainnya. Ramuan tersebut dibuat dari bermacam-macam bahan baku seperti beras, kencur, temu giring, temulawak, temu ireng, jahe, kunyit, kayu manis, cabe jawa, gula jawa, asam jawa, madu, dan lainnya. Bahan-bahan tersebut selanjutnya diracik secara manual menjadi jamu (Syukur & Hernani 2002).


            Saat ini produksi jamu telah berkembang pesat. Tidak hanya diproduksi dalam skala rumah tangga secara manual, namun sudah dapat diproduksi dalam skala industri secara modern. Masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai jamu kemasan. Jamu kemasan memiliki banyak variasi bentuk dan pilihan rasa. Bentuk utama yang biasa ditemukan sebagai jamu kemasan yaitu dalam bentuk serbuk, pil dan cair (liquid).
Berdasarkan bentuknya terdapat dua kelompok jamu yaitu jamu serbuk dan jamu cair (Dahlianti et al. 2005). Jamu serbuk terdiri dari jamu galohgor dan jamu kemasan sedangkan jamu cair meliputi jamu seduhan, jamu godogan, jamu peras dan jamu gendong. Contoh jamu kemasan yang umumnya dikonsumsi antara lain jamu galian param, jamu Nyonya Meneer, Jamu Bisma sehat, jamu anggur buah, jamu rapet wangi, dan jamu Rumput Fatima.
Jamu seduhan terbuat dari berbagai macam tanaman obat berupa daun-daunan dan rimpang yang digunakan secara tunggal atau campuran. Tanaman obat yang berupa daun langsung diseduh dengan air panas dan air seduhannya diminum. Sedangkan yang berupa rimpang harus diparut terlebih dahulu, kemudian diseduh dengan air panas. Jamu godogan merupakan jamu tradisional yang terbuat dari bahan-bahan segar atau kering yang direbus dalam waktu tertentu kemudian air rebusannya diminum. Tanaman obat yang paling banyak digunakan untuk membuat jamu godogan adalah daun sirih (Piper betle LINN). 



Jamu peras terbuat dari berbagai macam tanaman obat berupa daun dan rimpang baik tunggal maupun campuran. Bahan yang berupa rimpang biasanya diparut terlebih dahulu lalu airnya diperas. Sedangkan bahan berupa daun, sebelumnya diperas dulu dengan tangan hingga airnya keluar. Lempuyang (Zingiber aromaticum VAL) dan daun pepaya (Carica papaya L) biasanya digunakan para ibu-ibu di desa Sukajadi sebagai bahan pembuatan jamu peras. Bahan lain yang dapat digunakan dalam pembuatan jamu tersebut adalah kunyit (Curcuma domestica VAL) dan jahe (Zingiber officanale ROSC). Terdapat jenis jamu yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat Indonesia, yaitu jamu gendong. Jamu gendong adalah jamu tradisional yang berbentuk cair dan dimasukkan dalam botol-botol yang disusun dalam bakul dan digendong dipunggung (Augusta et al. 2000 dalam Dahlianti et al. 2005).
Jamu Galohgor
            Jamu galohgor merupakan jamu yang dikonsumsi oleh masyarakat desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Jamu galohgor terbuat dari 56 jenis tanaman obat yang diramu secara tradisional oleh pembuat jamu lokal di desa Sukajadi. Jamu tersebut dikonsumsi sebagai makanan cemilan oleh ibu-ibu nifas. Masyarakat desa tersebut percaya bahawa dengan mengonsumsi jamu galohgor dapat meningkatkan kondisi kesehatan ibu setelah melahirkan dan meningkatkan produksi ASI. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Roosita (2003) pada tikus percobaan yang mengonsumsi jamu galohgor menunjukkan pemulihan uterus yang lebih cepat, peningkatkan produksi susu dan pencapaian puncak laktasi yang cepat pasca melahirkan.
            Dosis jamu galohgor yang dikonsumsi yaitu sebanyak 0,370 g/kg berat badan/hari atau diperkirakan setara dengan satu per empat (1/4) sendok teh. Frekuensi konsumsi per hari yang dianjurkan sebanyak 2 kali. 

            Berdasarkan penelitian Masruroh (2004), terdapat kandungan antioksidan yang cukup tinggi pada jamu galohgor. Hal ini disebabkan oleh bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan jamu tersebut berasal dari 56 jenis tanaman obat yang tinggi senyawa antioksidannya. Jamu galohgor mengandung senyawa antioksidan seperti vitamin C karotenoid, vitamin E, dan senyawa fenol (Masruroh 2004). Sehingga dapat dikatakan jamu galohgor berpotensi sebagai obat pencegah kanker atau dapat digunakan sebagai pengobatan segala jenis kanker serta memperlambat proses penuaan dini.

PUSTAKA:
Carlsen et al. 2010. The total antioxidant content of more than 3100 foods, beverages, spices, herbs and supplements used worldwide. Nutritional Journal Vol.9:3. http://www.nutritionj.com/content/9/1/3 [5 September 2011].
Dahlianti R, Nasoetion A & Roosita K. 2005. Keragaan perawatan kesehatan masa nifas. Pola konsumsi Jamu tradisional dan pengaruhnya pada ibu nifas di desa Sukajadi. kecamatan Tamansari, Bogor. Media Gizi dan Keluarga, Vol. 29 (2): hlm. 55-65.
Katno & Pramono S. 2003. Tingkat manfaat dan keamanan tanaman obat dan obat tradisional. Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada.
Lakhan SE & Vieira KF. 2010. Nutritional and herbal supplements for anxiety and anxiety-related disorders: systematic review. Nutritional Journal Vol.9:42. http://www.nutritionj.com/content/9/1/42 [5 September 2011].
Limananti A & Triratnawati A. 2003. Ramuan jamu cekok sebagai penyembuhan kurang nafsu makan pada anak: suatu kajian etnomedisin. Makara, Kesehatan, Vol. 7, No. 1, Juni 2003.
Masruroh S. 2004. Analisis kandungan antioksidan alami jamu galohgor [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Roosita K. 2003. Efek jamu Galohgor pada inovulasi uterus dan produksi air susu tikus putih (Rattus sp.) [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, IPB.
Sukandar EY. 2009. Tren dan paradigma dunia farmasi industri-klinik-teknologi kesehatan. Departemen Farmasi, FMIPA, Institut Teknologi Bandung.
Syukur & Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial Indonesia. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

2 komentar:

Tinggalkan komentar ya di sini, terima kasih.